oleh Jul As Whom pada 16 Februari 2012 pukul 6:58 ·
Sore
itu adalah peristiwa nan indah bagi Pak Amri. Bias-bias mentari
mengintip di celah-celah rimbun dedaunan. Cahaya menjelang senja itu
menembus kepulan asap dari sebuah tong pembakaran sampah hingga ketanah
membentuk gang-gang cahaya seakan-akan ratusan bidadari surga bersepakat
menjatuhkan diri mereka menemani kesendirian seorang tua bangka pemilik
lahan kecil itu. Setelah tiga minggu lamanya berkutat dengan jeruji
besi, akhirnya pak Amri bisa menyapa beberapa pohon rindang di halaman
rumahnya.
Sapu
lidi Pak Amri dari tadi berdesis mengikuti ritme hasrat dalam dirinya
yang tak redup meski di usianya yang sudah memasuki angka enam puluh dua
tahun. Sesekali desisan itu berhenti, dia beralih mengangkat tumpukan
dedaunan ke tong pembakaran. Ayah dari dua anak ini mencari sebuah
potongan kayu yang biasa dijadikannya bangku. Dia duduk sejenak menatap
sekeliling halamannya yang tidak begitu luas. Sebuah white-board
bersandar di batang pohon asam. Bangku panjang dan sebuah meja yang di
sulap dari dua ban truk bertumpuk. Semua diselimuti debu, tak lagi
terpakai.