oleh Jul As Whom pada 16 Februari 2012 pukul 6:58 ·
Sore
itu adalah peristiwa nan indah bagi Pak Amri. Bias-bias mentari
mengintip di celah-celah rimbun dedaunan. Cahaya menjelang senja itu
menembus kepulan asap dari sebuah tong pembakaran sampah hingga ketanah
membentuk gang-gang cahaya seakan-akan ratusan bidadari surga bersepakat
menjatuhkan diri mereka menemani kesendirian seorang tua bangka pemilik
lahan kecil itu. Setelah tiga minggu lamanya berkutat dengan jeruji
besi, akhirnya pak Amri bisa menyapa beberapa pohon rindang di halaman
rumahnya.
Sapu
lidi Pak Amri dari tadi berdesis mengikuti ritme hasrat dalam dirinya
yang tak redup meski di usianya yang sudah memasuki angka enam puluh dua
tahun. Sesekali desisan itu berhenti, dia beralih mengangkat tumpukan
dedaunan ke tong pembakaran. Ayah dari dua anak ini mencari sebuah
potongan kayu yang biasa dijadikannya bangku. Dia duduk sejenak menatap
sekeliling halamannya yang tidak begitu luas. Sebuah white-board
bersandar di batang pohon asam. Bangku panjang dan sebuah meja yang di
sulap dari dua ban truk bertumpuk. Semua diselimuti debu, tak lagi
terpakai.
Tiba-tiba
saja matanya mengamati sesuatu di salah satu batang pohon mangga
berjarak sepelontar batu. Meski cukup dekat, penglihatannya belum bisa
menerka goresan yang ada di di batang itu. Rasa penasaran membawanya ke
arah goresan itu. Semakin mendekati yang dituju, semakin jelas bahwa itu
sebuah tulisan. Dia menyelami kepulan kabut dihadapannya. Saat rasa
penasarannya terindahkan, keindahan di sekitarnya pun tergores, sedalam
goresan kalimat yang ada di hadapannya. Disana tertulis “Rudi suka
Irma.”
Tingkah
laku anak-anak SD memang seperti itu. Menjodoh-jodohkan adalah salah
satu cara usil untuk mengerjai seorang teman agar salahtingkah. Sungguh
usaha yang paling tepat dilakukan Sukma agar Irma bisa diledek
habis-habisan oleh teman-temannya karena dipasangkan dengan Rudi yang
berkulit hitam, rambut Ikal keras layaknya kumpulan kawat yang tumbuh di
kepalanya. Rudi selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Dan
tentunya akan jauh lebih nikmat jika suguhan ejekan itu diseduh dengan
pemanis, semanis Irma anak pak Desa yang bersih dan periang itu.
Semenjak
kedua anak perempuannya sudah berkeluarga dan memilih tinggal di kota,
pak tua itu lebih memilih menghabiskan sendiri hari-harinya di desa
mungkin hingga saat tanah seluas satu setengah hektar mewaris ke
anak-anaknya. Hari-harinya dia habiskan bersama pohon-pohon besar dan
anak-anak kecil yang senang bermain di kebunnya itu.
Sebuah
kelompok pemuda yang berlatarbelakang mahasiswa turut meramaikan
tempatnya. Mereka awalnya menawarkan anak-anak yang ada disana untuk
diajar. Mulai dari matematika, bahasa asing hingga kesenian. Namun
setelah beberapa minggu relawan-relawan itu memohon agar di salahsatu
titik di tanahnya yang luas itu dibuat sekeretariat. Pak Amri tidak
menolak. Dia malah sangat senang dengan niatan mereka, selama tidak
mengubah keasrian tempatnya. Jiwa mudanya seakan bangkit kembali. Dia
beranggapan dengan membuat perubahan kecil sungguh jauh lebih baik
daripada sekedar menyadari negeri ini bobrok. Di sisi lain, tawa-canda
anak-anak menghilangkan jenuh dalam dirinya yang setiap saat menyarankan
agar segera meninggalkan ruh dari jasadnya untuk menemui sang istri
tercinta di alam baka.
Sudah
hampir sebulan halaman pak Amri tidak lagi ramai. Biasanya, jam segini
anak-anak sudah bermain. Tapi tak seorang memunculkan dirinya. Ayunan di
bawah pohon beringin itu, atau jambu air yang matang di pohonnya karena
tak lagi menjadi rebutan anak-anak. Ditambah goresan kalimat di
hadapannya saat itu telah membangunkan sepi yang sekian lama lelap di
sisi dirinya yang lain.
Ini
bermula sejak wabah ulat bulu yang menjadi isu sentral di kota-kota
besar di Negeri ini, akhirnya menyebar hingga kedesanya. Ulat-ulat itu
menyerang pemukiman, bergelantungan di atas daun pintu, memasuki
celah-celah atap sehingga untuk tidur di kamar sekalipun tidak lagi
memberi rasa aman. Sungguh menggelikan. Berkat bantuan dari pemerintah
ditambah swadaya masyarakat akhirnya pemusnahan massal pun dilakukan.
Tapi
berbeda dengan pak Amri. Dia menolak program pemusnahan itu. Kebun Pak
Amri menjadi satu-satunya sarang ulat bulu yang tersisa. Beberapa kali
utusan pak Desa memanggil dia untuk menghadiri rapat tapi dia sendiri menolaknya. Setelah
didesak lama, dia akhirnya memtuskan menghadiri pertemuan di balai
desa. Mendengar kesediaan beliau, Pak Desa, sejumlah tokoh-tokoh
masyarakat, dan perwakilan relawan berbondong-bondong ke balai desa
meminta agar penyemprotan insektisida segera dilakukan di halaman Pak
Amri karena pastinya akan menyebar ke rumah-rumah tetangga yang telah
steril dari hama.
Pak
desa membuka pembicaraan di antara keheningan yang ada “Pak,
perhatikanlah keluhan masyarakat” dengan membujuk, “kami resah dengan
wabah ulat bulu yang seminggu ini mengganggu kita.” Pak Ramli, seorang
pegawai dari dinas pertanian kabupaten menambahkan “Tenang saja, pak.
Kalau bapak khawatir pohon-pohon dan tanah bapak rusak karena pestisida,
khusus untuk bapak, Kami sudah mempunyai racikan khusus yang tidak
merusak pepohonan bapak.”
Pak
Amri angkat bicara, “Berarti bapak dari dinas pertanian ini sebelumnya
menggunakan pestisida yang merusak tanaman, juga kehidupan yang lain.”
Analisa pak Amri membuat semuanya saling tatap. Sebuah kebenaran kecil
tersingkap di antara kepalsuan yang selama ini diyakini benar.
Salah
seorang relawan di rumah Pak Amri juga tak sungkan-sungkan menyerang,
“tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada bapak, cobalah bayangkan di
rumah bapak ada kami, ada anak-anak kecil, dan ulat-ulat bulu itu
mengganggu aktivitas kami. Dan saya yakin bapak senang, kan dengan
kehadiran kami?” Ibu Nani membenarkan, “Kasihan anak-anak kami, pak.
Sudah banyak yang kulitnya merah-merah karena gatal. Bapak harus
mengizinkan warga membasminya agar segalanya kembali normal”
Pak
Amri dengan enteng menjawab, “Kalian,” menunjuk ke arah pemuda itu,
“dan anak-anak tak jauh beda dengan ulat-ulat bulu itu. Kalian adalah
tamu bagiku.” Dia melanjutkan “jika kalian menganggap ulat bulu itu
parasit, terus apa bedanya dengan kalian? Toh, mereka datang cuma
sebentar mencari sesuap pengalaman di kebunku lalu pergi dan tak
kembali, tak ubahnya juga dengan kalian.” Pak Amri menutup
pembicaraannya. “Aku sangat menyayangi kalian, juga ulat-ulat itu. Tidak
ada alasanku untuk mengusir mereka apalagi membunuh mereka, terlebih
itu di dalam pagarku.” Mata Pak Amri berkaca-kaca. “Kalian yang berada
di dalam pagarku berarti sepenuhnya tanggungjawabku.”
Semua
tercengang oleh air mata pak Amri. Tak ada logika yang mampu
didiplomasikan untuk beliau. Satu persatu meninggalkan pak Tua itu
menangis. Mereka gagal. Pak Amri ditinggal sendiri di kantor Desa. Air
matanya mengalir deras. Sebuah kelegaan yang menyakitkan terluap dari
benaknya.
Beberapa
saat kemudian, dia tersadar dan beranjak untuk pulang. Sebuah
police-line menjulur di sepanjang pagar kayu miliknya. Dia terkejut.
Semakin dekat dengan pintu pagar, semakin banyak warga mengintip. Pak
Amri bertanya “ada apa ini?” tiba-tiba dari dalam seorang berpakaian
seragam putih tergesa-gesa mengangkat seorang anak dan seorang
berseragam lainnya menjunjung kantung infus.
Seorang
pria berkumis berambut ikal menatap tajam Pak Amri. Dia berjalan dan
menunjuk kearah pak tua itu, lalu diikuti tatapan warga yang lain. Pria
itu membentak, “Ini semua gara-gara kau, kalau ulat-ulat itu dari
kemarin-kemarin dibasmi, Rudi tidak akan seperti itu. Anda harus
bertanggungjawab” warga menahan pria yang mengamuk itu. Ternyata dia
adalah bapak si Rudi yang sering jadi bahan tertawaan teman-temannya
itu. Pria berkumis, “Kalau sampai terjadi apa-apa terhadap anak saya,
kubunuh kau”
Rudi yang namanya tertulis di pohon itu ternyata benar-benar menyukai Irma diam-diam. Karena seringnya diteriaki inyol,
dia memutuskan untuk mengubah penampilannya. dia mengikuti saran salah
seorang temannya agar menelan mentah-mentah ulat bulu. Katanya karena
tidak ada satupun ulat bulu yang bulunya gerinyol. Salah satu alat
pertahanan ulat kupu-kupu itu adalah bulu yang tersebar di tubuh bagian
atasnya. Setelah menelannya, tentu saja tenggorokannya mengalami
infeksi.
Sehari
setelah kasus itu, dua orang polisi menjemput Pak Amri katanya untuk
diambil keterangan, ternyata selama tiga minggu dia harus menginap di
kantor POLRES. Pak Desa dan warga terharu melihat kejadian itu. Mereka
sadar kejadian ini sepenuhnya bukan kesalahan pak Amri. Mereka sepakat
tidak akan mengusik ulat-ulat bulu di kebun itu selama tidak menjalar
kerumah warga yang. Persis apa yang dikatakan Pak Amri di kantor desa,
Ternyata selama hampir sebulan Pak Amri dipenjara, aktivitas ulat bulu
bisa dikendalikan secara sempurna. Rumahnya kosong.
Pak
Amri mencoba menghapus sesalnya. Dia mencoba mengangkat tubuhnya yang
terasa renta. Senja perlahan meredupkan mentari. Siulan burung pagi
berganti oleh cuitan burung-burung malam. Badannya yang lunglai dia
baringkan dengan hati-hati di atas ranjang empuknya yang berdebu. Dia
tak lagi perduli dengan semua keadaan yang ada. Penyesalan yang dihapus
tak akan hilang sepenuhnya meski dengan menutup mata.
Pagi
hari, dia kembali melakukan sebagian pekerjaannya yang tersisa,
membersihkan tanah dari tumpukan dedaunan. Setelah semua bersih, tak
indah rasa hidupnya jika gerbang halamannya tak dia buka. Baginya Pintu
halaman tak ubahnya pintu hati, siapapun boleh bertamu.
Sedikit
tertatih dia menarik gerbangnya. Beberapa detik kemudian gerbang itu
berhasil terbuka lebar. Tak ada satupun anak, atau mahasiswa yang yang
menunggu di depan gerbang untuk masuk. Pak Amri memanjangkan lehernya
berharap dari kejauhan seorang di antara mereka ada yang berlari atau
bersembunyi di balik semak-semak untuk mengerjai sang kakek. Tapi itu
tidak mungkin lagi terjadi. Kesepian makin menguasai dirinya, membakar
sejuknya embun yang menyentuh kulitnya. Penglihatannya perlahan kabur,
mengalahkan kabut yang menyelimuti paginya.
Dia
merasakan sesuatu menggelitik telinganya. Seekor kupu-kupu berwarnya
jingga bermain di telinganya. Kurang lebih selengan di belakangnya
seekor lagi. Yang ini lebih lebar sayapnya. Dia menoleh dari sisi yang
lain tiga ekor kupu-kupu menyapanya. Pak Amri membalikkan badannya
ratusan kupu-kupu berwarna-warni menari di depannya. Dia pun tertawa
haru memandang keindahan yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Alam
telah menghadiahkan sesuatu yang Pak Amri rindukan. Sebuah keramaian.
Keramaian yang tak banyak manusia bisa merasakannya. Kumpulan peri
sedang bermain riang di kebunnya, mengganti keramaian yang pernah
dialaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar