Rabu, 29 Februari 2012

Keramaian di kebun Pak Amri


oleh Jul As Whom pada 16 Februari 2012 pukul 6:58 ·

Sore itu adalah peristiwa nan indah bagi Pak Amri. Bias-bias mentari mengintip di celah-celah rimbun dedaunan. Cahaya menjelang senja itu menembus kepulan asap dari sebuah tong pembakaran sampah hingga ketanah membentuk gang-gang cahaya seakan-akan ratusan bidadari surga bersepakat menjatuhkan diri mereka menemani kesendirian seorang tua bangka pemilik lahan kecil itu.  Setelah tiga minggu lamanya berkutat dengan jeruji besi, akhirnya pak Amri bisa menyapa beberapa pohon rindang di halaman rumahnya.

Sapu lidi Pak Amri dari tadi berdesis mengikuti ritme hasrat dalam dirinya yang tak redup meski di usianya yang sudah memasuki angka enam puluh dua tahun. Sesekali desisan itu berhenti, dia beralih mengangkat tumpukan dedaunan ke tong pembakaran. Ayah dari dua anak ini mencari sebuah potongan kayu yang biasa dijadikannya bangku. Dia duduk sejenak menatap sekeliling halamannya yang tidak begitu luas. Sebuah white-board bersandar di batang pohon asam. Bangku panjang dan sebuah meja yang di sulap dari dua ban truk bertumpuk. Semua diselimuti debu, tak lagi terpakai.


Tiba-tiba saja matanya mengamati sesuatu di salah satu batang pohon mangga berjarak sepelontar batu. Meski cukup dekat, penglihatannya belum bisa menerka goresan yang ada di di batang itu. Rasa penasaran membawanya ke arah goresan itu. Semakin mendekati yang dituju, semakin jelas bahwa itu sebuah tulisan. Dia menyelami kepulan kabut dihadapannya. Saat rasa penasarannya terindahkan, keindahan di sekitarnya pun tergores, sedalam goresan kalimat yang ada di hadapannya. Disana tertulis “Rudi suka Irma.”
Tingkah laku anak-anak SD memang seperti itu. Menjodoh-jodohkan adalah salah satu cara usil untuk mengerjai seorang teman agar salahtingkah. Sungguh usaha yang paling tepat dilakukan Sukma agar Irma bisa diledek habis-habisan oleh teman-temannya karena dipasangkan dengan Rudi yang berkulit hitam, rambut Ikal keras layaknya kumpulan kawat yang tumbuh di kepalanya. Rudi selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Dan tentunya akan jauh lebih nikmat jika suguhan ejekan itu diseduh  dengan pemanis, semanis Irma anak pak Desa yang bersih dan periang itu.

Semenjak kedua anak perempuannya sudah berkeluarga dan memilih tinggal di kota, pak tua itu lebih memilih menghabiskan sendiri hari-harinya di desa mungkin hingga saat tanah seluas satu setengah hektar mewaris ke anak-anaknya. Hari-harinya dia habiskan bersama pohon-pohon besar dan anak-anak kecil yang senang bermain di kebunnya itu.

Sebuah kelompok pemuda yang berlatarbelakang mahasiswa turut meramaikan tempatnya. Mereka awalnya menawarkan anak-anak yang ada disana untuk diajar. Mulai dari matematika, bahasa asing hingga kesenian. Namun setelah beberapa minggu relawan-relawan itu memohon agar di salahsatu titik di tanahnya yang luas itu dibuat sekeretariat. Pak Amri tidak menolak. Dia malah sangat senang dengan niatan mereka, selama tidak mengubah keasrian tempatnya. Jiwa mudanya seakan bangkit kembali. Dia beranggapan dengan membuat perubahan kecil sungguh jauh lebih baik daripada sekedar menyadari negeri ini bobrok. Di sisi lain, tawa-canda anak-anak menghilangkan jenuh dalam dirinya yang setiap saat menyarankan agar segera meninggalkan ruh dari jasadnya untuk menemui sang istri tercinta di alam baka.

Sudah hampir sebulan halaman pak Amri tidak lagi ramai. Biasanya, jam segini anak-anak sudah bermain. Tapi tak seorang memunculkan dirinya. Ayunan di bawah pohon beringin itu, atau jambu air yang matang di pohonnya karena tak lagi menjadi rebutan anak-anak. Ditambah goresan kalimat di hadapannya saat itu telah membangunkan sepi yang sekian lama lelap di sisi dirinya yang lain.

Ini bermula sejak wabah ulat bulu yang menjadi isu sentral di kota-kota besar di Negeri ini, akhirnya menyebar hingga kedesanya. Ulat-ulat itu menyerang pemukiman, bergelantungan di atas daun pintu, memasuki celah-celah atap sehingga untuk tidur di kamar sekalipun tidak lagi memberi rasa aman. Sungguh menggelikan. Berkat bantuan dari pemerintah ditambah swadaya masyarakat akhirnya pemusnahan massal pun dilakukan.

Tapi berbeda dengan pak Amri. Dia menolak program pemusnahan itu. Kebun Pak Amri menjadi satu-satunya sarang ulat bulu yang tersisa. Beberapa kali utusan pak Desa memanggil dia untuk menghadiri rapat tapi dia sendiri menolaknya. Setelah didesak lama, dia akhirnya memtuskan menghadiri pertemuan di balai desa. Mendengar kesediaan beliau, Pak Desa, sejumlah tokoh-tokoh masyarakat, dan perwakilan relawan berbondong-bondong ke balai desa meminta agar penyemprotan insektisida segera dilakukan di halaman Pak Amri karena pastinya akan menyebar ke rumah-rumah tetangga yang telah steril dari hama.

Pak desa membuka pembicaraan di antara keheningan yang ada “Pak, perhatikanlah keluhan masyarakat” dengan membujuk, “kami resah dengan wabah ulat bulu yang seminggu ini mengganggu kita.” Pak Ramli, seorang pegawai dari dinas pertanian kabupaten menambahkan “Tenang saja, pak. Kalau bapak khawatir pohon-pohon dan tanah bapak rusak karena pestisida, khusus untuk bapak, Kami sudah mempunyai racikan khusus yang tidak merusak pepohonan bapak.”

Pak Amri angkat bicara, “Berarti bapak dari dinas pertanian ini sebelumnya menggunakan pestisida yang merusak tanaman, juga kehidupan yang lain.” Analisa pak Amri membuat semuanya saling tatap. Sebuah kebenaran kecil tersingkap di antara kepalsuan yang selama ini diyakini benar.

Salah seorang relawan di rumah Pak Amri juga tak sungkan-sungkan menyerang, “tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada bapak, cobalah bayangkan di rumah bapak ada kami, ada anak-anak kecil, dan ulat-ulat bulu itu mengganggu aktivitas kami. Dan saya yakin bapak senang, kan dengan kehadiran kami?” Ibu Nani membenarkan, “Kasihan anak-anak kami, pak. Sudah banyak yang kulitnya merah-merah karena gatal. Bapak harus mengizinkan warga membasminya agar segalanya kembali normal”

Pak Amri dengan enteng menjawab, “Kalian,” menunjuk ke arah pemuda itu, “dan anak-anak tak jauh beda dengan ulat-ulat bulu itu. Kalian adalah tamu bagiku.” Dia melanjutkan “jika kalian menganggap ulat bulu itu parasit, terus apa bedanya dengan kalian? Toh, mereka datang cuma sebentar mencari sesuap pengalaman di kebunku lalu pergi dan tak kembali, tak ubahnya juga dengan kalian.” Pak Amri menutup pembicaraannya. “Aku sangat menyayangi kalian, juga ulat-ulat itu. Tidak ada alasanku untuk mengusir mereka apalagi membunuh mereka, terlebih itu di dalam pagarku.” Mata Pak Amri berkaca-kaca. “Kalian yang berada di dalam pagarku berarti sepenuhnya tanggungjawabku.”

Semua tercengang oleh air mata pak Amri. Tak ada logika yang mampu didiplomasikan untuk beliau. Satu persatu meninggalkan pak Tua itu menangis. Mereka gagal. Pak Amri ditinggal sendiri di kantor Desa. Air matanya mengalir deras. Sebuah kelegaan yang menyakitkan terluap dari benaknya.

Beberapa saat kemudian, dia tersadar dan beranjak untuk pulang. Sebuah police-line menjulur di sepanjang pagar kayu miliknya. Dia terkejut. Semakin dekat dengan pintu pagar, semakin banyak warga mengintip. Pak Amri bertanya “ada apa ini?” tiba-tiba dari dalam seorang berpakaian seragam putih tergesa-gesa mengangkat seorang anak dan seorang berseragam lainnya menjunjung kantung infus.

Seorang pria berkumis berambut ikal menatap tajam Pak Amri. Dia berjalan dan menunjuk kearah pak tua itu, lalu diikuti tatapan warga yang lain. Pria itu membentak, “Ini semua gara-gara kau, kalau ulat-ulat itu dari kemarin-kemarin dibasmi, Rudi tidak akan seperti itu. Anda harus bertanggungjawab” warga menahan pria yang mengamuk itu. Ternyata dia adalah bapak si Rudi yang sering jadi bahan tertawaan teman-temannya itu.  Pria berkumis, “Kalau sampai terjadi apa-apa terhadap anak saya, kubunuh kau”

Rudi yang namanya tertulis di pohon itu ternyata benar-benar menyukai Irma diam-diam. Karena seringnya diteriaki inyol, dia memutuskan untuk mengubah penampilannya. dia mengikuti saran salah seorang temannya agar menelan mentah-mentah ulat bulu. Katanya karena tidak ada satupun ulat bulu yang bulunya gerinyol. Salah satu alat pertahanan ulat kupu-kupu itu adalah bulu yang tersebar di tubuh bagian atasnya. Setelah menelannya, tentu saja tenggorokannya mengalami infeksi.

Sehari setelah kasus itu, dua orang polisi menjemput Pak Amri katanya untuk diambil keterangan, ternyata selama tiga minggu dia harus menginap di kantor POLRES. Pak Desa dan warga terharu melihat kejadian itu. Mereka sadar kejadian ini sepenuhnya bukan kesalahan pak Amri. Mereka sepakat tidak akan mengusik ulat-ulat bulu di kebun itu selama tidak menjalar kerumah warga yang. Persis apa yang dikatakan Pak Amri di kantor desa, Ternyata selama hampir sebulan Pak Amri dipenjara, aktivitas ulat bulu bisa dikendalikan secara sempurna. Rumahnya kosong.

Pak Amri mencoba menghapus sesalnya. Dia mencoba mengangkat tubuhnya yang terasa renta. Senja perlahan meredupkan mentari. Siulan burung pagi berganti oleh cuitan burung-burung malam. Badannya yang lunglai dia baringkan dengan hati-hati di atas ranjang empuknya yang berdebu. Dia tak lagi perduli dengan semua keadaan yang ada. Penyesalan yang dihapus tak akan hilang sepenuhnya meski dengan menutup mata.

Pagi hari, dia kembali melakukan sebagian pekerjaannya yang tersisa, membersihkan tanah dari tumpukan dedaunan. Setelah semua bersih, tak indah rasa hidupnya jika gerbang halamannya tak dia buka. Baginya Pintu halaman tak ubahnya pintu hati, siapapun boleh bertamu.

Sedikit tertatih dia menarik gerbangnya. Beberapa detik kemudian gerbang itu berhasil terbuka lebar. Tak ada satupun anak, atau mahasiswa yang yang menunggu di depan gerbang untuk masuk. Pak Amri memanjangkan lehernya berharap dari kejauhan seorang di antara mereka ada yang berlari atau bersembunyi di balik semak-semak untuk mengerjai sang kakek. Tapi itu tidak mungkin lagi terjadi. Kesepian makin menguasai dirinya, membakar sejuknya embun yang menyentuh kulitnya. Penglihatannya perlahan kabur, mengalahkan kabut yang menyelimuti paginya.

Dia merasakan sesuatu menggelitik telinganya. Seekor kupu-kupu berwarnya jingga bermain di telinganya. Kurang lebih selengan di belakangnya seekor lagi. Yang ini lebih lebar sayapnya. Dia menoleh dari sisi yang lain tiga ekor kupu-kupu menyapanya. Pak Amri membalikkan badannya ratusan kupu-kupu berwarna-warni menari di depannya. Dia pun tertawa haru memandang keindahan yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Alam telah menghadiahkan sesuatu yang Pak Amri rindukan. Sebuah keramaian. Keramaian yang tak banyak manusia bisa merasakannya. Kumpulan peri sedang bermain riang di kebunnya, mengganti keramaian yang pernah dialaminya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar